Tinggalkan komentar

Pemimpin manakah yang layak kita anggap Ulil Amri?

Menggali hukum Syara (dalil) yg berkenaan dengan ketaatan kepada penguasa

Terdapat hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin atau taat kepada penguasa, dalam arti tetap setia di bawah kepemimpinannya, dan tetap melaksanakan perintah-perintahnya. Kita hanya dibolehkan menyelisihi perintahnya ketika perintah itu merupakan perbuatan maksiat kepada Allah, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq. Meski begitu, kita tetap dilarang melawan atau melepaskan kesetiaan kita kepada pemimpin tersebut. Inilah kewajiban untuk taat kepada ulil amri.

Di antara hadits-hadits yang memerintahkan ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin kaum muslimin meski ia tidak adil antara lain adalah:

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat. (Muttafaqun alaih)

Dari Auf bin Malik radliyallahu anhu, beliau berkata:Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda : Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu. Kami (para shahabat) bertanya : Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?. Beliau shallallaahu alaihi wasallam pun menjawab : Jangan, selagi ia masih menegakkan shalat bersamamu (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya (HR. Muslim)

Dari Ummu Salamah radliyallaahu anha bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda : Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut. Para shahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?. Beliau menjawab : Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya (HR. Muslim)

Hanya saja, pemimpin yang dimaksud di sini bukan sembarang pemimpin yang memerintah kaum muslimin. Sebab, ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain radliyallahu anha, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

meski kalian dipimpin oleh seorang budak dengan Kitabullah, maka taat dan dengarlah.

Sementara itu, Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dengan redaksi:

Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habsyah yang pesek hidungnya, dengar dan taatlah selama dia menegakkan Kitabullah Azza Wa jalla di tengah-tengah kalian. Adz-Dzahabi dan Syuaib al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih.

Imam An Nawawi dalam syarah-nya menyatakan:

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan kitabullah. Para ulama berkata: maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada kitabullah Taala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlaq mereka.

Dengan demikian, jika hadits-hadits di atas dipahami bersama dengan hadits yang memerintahkan taat secara mutlak kepada pemimpin, maka kita dapat mengakatan bahwa pemimpin yang kita diperintahkan untuk tetap mentaatinya meski ia fajir adalah pemimpin yang tetap mendasarkan pemerintahannya kepada Islam (yang dalam hadits disimbolkan dengan kitabullah), dan tetap berkomitmen untuk menegakkan syariat Islam meski di sana-sini mungkin ditemukan berbagai pelanggaran dalam pemerintahannya maupun dalam diri pribadi mereka, seperti sebagian dari para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan Bani Utsman.

Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemimpin yang mencampakkan Islam dalam dalam kehidupan bernegara, tak mau menjalankan pemerintahan di atas prinsip akidah Islam, tak mau terikat kepada syariah Islam dalam hukum dan kebijakannya, dan tak berniat menerapkan hukum-hukum Islam atas warga negaranya. Maka, jika kita proyeksikan ke zaman kita sekarang, ketentuan taat kepada pemimpin ini tak berlaku bagi mereka yang membangun pemerintahannya di atas sekularisme, dan justru berhukum kepada perundangan yang digali dari akal dan hawa nafsu manusia seraya melupakan dan mencampakkan syariat Allah. Sebab, mencampakkan hukum Islam seraya tak mengimani keshahihannya untuk diterapkan, kemudian justru berhukum kepada selain hukum Islam merupakan kekufuran yang nyata sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 50. Dengan demikian, kita telah membawa hal yang mutlak kepada yang muqayyad.

Dan dari Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu anhu, beliau berkata:

– –

Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam menyeru kami maka kami berbaiat kepada beliau, diantara yang beliau minta kepada kami dalam baiat itu adalah kesanggupan untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan ringan atau berat, dalam keadaan sulit atau mudah dan ketika kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak menggoyang kepemimpinan seseorang, beliau bersabda: kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata (kufur bawaah) dengan diiringi bukti yang jelas dari Allah. (Muttafaq Alaih dengan redaksi hadits riwayat Muslim.)

Tinggalkan komentar